JAKARTA – PT PAM Mineral Tbk. (NICL), emiten yang bergerak di sektor pertambangan nikel, optimistis harga nikel pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan. Direktur Utama NICL, Ruddy Tjanaka, dalam keterangannya pada Rabu, 26 Maret 2025 menyampaikan bahwa ada sejumlah faktor katalis positif yang diperkirakan dapat mendorong harga nikel ke level yang lebih tinggi pada tahun mendatang.
Ruddy menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang akan mempengaruhi kenaikan harga nikel adalah penutupan tambang nikel di beberapa negara penghasil utama, seperti Australia, Filipina, dan sejumlah negara Eropa yang memiliki biaya produksi tinggi. "Penutupan tambang nikel di negara-negara dengan biaya produksi tinggi ini akan mengurangi pasokan global. Dampaknya, kami berharap harga nikel bisa terdorong naik," ujar Ruddy.
Selain pengurangan pasokan, proyeksi peningkatan permintaan juga menjadi faktor penting yang diperkirakan akan mendongkrak harga nikel. Kebutuhan nikel yang semakin tinggi berasal dari sektor kendaraan listrik dan baja nirkarat, yang keduanya sangat bergantung pada komoditas nikel sebagai bahan baku utama. Hal ini semakin menguntungkan Indonesia, yang saat ini menjadi produsen nikel terbesar di dunia.
"Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia tentu akan mendapat keuntungan besar dari proyeksi peningkatan permintaan ini, terlebih lagi dengan adanya rencana beberapa negara untuk melakukan hilirisasi industri nikel domestik mereka," lanjut Ruddy.
Performa Harga Nikel dan Proyeksi 2025
Berdasarkan data dari London Metal Exchange (LME), harga nikel tercatat sebesar US$16.013 per ton dengan kenaikan 4,33% secara year to date (YTD). Meski demikian, harga nikel sempat mengalami penurunan pada 2024, turun sebesar 7,68% menjadi US$15.328 per ton, dan merosot tajam sebesar 44,75% pada 2023 menjadi US$16.603 per ton. Harga nikel sempat mencapai level puncaknya pada 2022, yakni US$30.048 per ton, sebelum mengalami penurunan signifikan dalam dua tahun terakhir.
Dengan proyeksi permintaan yang terus meningkat untuk bahan baku kendaraan listrik dan baja nirkarat, banyak analis pasar memperkirakan bahwa harga nikel dapat kembali menguat pada 2025. Oleh karena itu, perusahaan seperti NICL berharap dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk meraih keuntungan yang lebih besar.
Kinerja NICL dan Proyeksi Produksi
Pada tahun 2024, NICL berhasil meraih kinerja yang cukup impresif meskipun terdapat penurunan permintaan nikel di pasar domestik Indonesia. Perseroan melaporkan total pendapatan sebesar Rp1,44 triliun pada 2024, meningkat sebesar 26,37% dibandingkan dengan pendapatan pada 2023 yang tercatat sebesar Rp1,14 triliun. Keberhasilan ini turut didorong oleh efisiensi biaya yang dilakukan perusahaan dalam operasionalnya.
Tidak hanya itu, NICL juga mencatatkan lonjakan luar biasa dalam laba bersihnya, yang melonjak 1.081% menjadi Rp318,04 miliar pada 2024, dibandingkan dengan laba bersih yang hanya sebesar Rp26,92 miliar pada 2023. Ruddy Tjanaka mengungkapkan bahwa selain meningkatnya volume penjualan, efisiensi dalam beban umum dan administrasi menjadi faktor penting yang mendorong lonjakan laba tersebut.
"Efisiensi yang kami terapkan pada beban operasional dan administrasi memberi dampak positif terhadap margin keuntungan perusahaan. Kami akan terus fokus pada pengelolaan biaya secara efektif agar kinerja keuangan tetap solid," tambah Ruddy.
Rencana Produksi dan Lokasi Tambang
Dalam hal produksi, NICL menargetkan volume penjualan nikel sebesar 7 juta WMT (waste material tons) untuk periode 2024-2026, yang telah disetujui dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada 2024. Pada 2024, NICL berhasil meningkatkan volume penjualannya menjadi 2,30 juta ton, naik dari 1,84 juta ton pada tahun sebelumnya, meskipun terjadi penurunan permintaan nikel di Indonesia.
Perusahaan ini memiliki dua lokasi tambang nikel utama di Indonesia. Pertama, NICL memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tambang nikel di Desa Laroenai, Kecamatan Bungku Pesisir, Sulawesi Tengah, seluas 198 hektare. Kedua, melalui entitas anaknya, PT Indrabakti Mustika (IBM), perusahaan juga mengelola tambang nikel di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, dengan luas 576 hektare.
Prospek Masa Depan dan Optimisme
Ruddy Tjanaka menambahkan bahwa seiring dengan meningkatnya permintaan global untuk kendaraan listrik dan baja nirkarat, prospek nikel di masa depan akan semakin cerah. Indonesia, sebagai penghasil nikel terbesar, diperkirakan akan terus menjadi pusat perhatian pasar nikel dunia.
"Selain faktor pengurangan pasokan, kami optimistis bahwa Indonesia akan semakin mendominasi pasar nikel global seiring dengan rencana hilirisasi yang terus didorong oleh pemerintah. Kami siap memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan kinerja dan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia," tutup Ruddy.
Dengan optimisme terhadap prospek pasar nikel global pada 2025, NICL menunjukkan kesiapan untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada, baik dari sisi produksi maupun dari peningkatan harga komoditas yang diperkirakan akan menguntungkan bagi perusahaan dalam waktu dekat.