JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi mengumumkan rencana kenaikan tarif royalti sektor mineral dan batu bara (minerba). Kebijakan ini diambil dengan tujuan menciptakan rasa keadilan dalam industri pertambangan. Namun, langkah ini mendapat respons beragam dari pelaku usaha yang menilai kenaikan royalti justru akan semakin membebani industri yang sudah menghadapi berbagai tantangan ekonomi.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno, mengakui bahwa kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan perhitungan matang sebelum mengambil keputusan. "Lebih memberikan keadilan gitu ya," kata Tri di Gedung Kementerian ESDM, Selasa.
Menurutnya, kenaikan royalti hanya berlaku untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), sementara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tidak terdampak kebijakan ini.
Tri menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan evaluasi mendalam terhadap laporan keuangan perusahaan pertambangan selama dua tahun terakhir sebelum memutuskan kenaikan royalti.
"Perhitungan itu berdasarkan pada laporan keuangan dua tahun berturut-turut dari beberapa perusahaan. Kemudian kita evaluasi," jelasnya.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kenaikan royalti tidak akan menyebabkan perusahaan tambang mengalami kebangkrutan atau arus kas negatif. Tri menegaskan bahwa pemerintah akan tetap menjaga tingkat Internal Rate of Return (IRR) agar tetap positif.
"Itu tidak menunjukkan adanya potensi perusahaan mengalami collapse atau negatif cash flow. Nggak akan lah. Kita jaga IRR-nya tetap positif," tegasnya.
Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah anggapan bahwa tarif royalti Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia dibandingkan negara lain. Menanggapi hal ini, Tri mengatakan bahwa besaran tarif royalti yang diterapkan masih setara dengan kondisi arus kas negara yang rendah dibandingkan negara-negara lain.
"Negara kita kebetulan kan cash flow-nya rendah ya dibandingkan negara lain. Jadi harapan saya kepada teman-teman juga, ini negara kita lagi mau membangun, butuh dana, dan lain sebagainya. Mari kita dukung bersama. Kalau misalnya ada isu bahwa royalti kita terlalu tinggi, lho kita 40% lebih rendah cost-nya," ungkapnya.
Namun, pelaku industri tambang menyampaikan keberatan terhadap kenaikan ini, terutama sektor nikel yang akan mengalami kenaikan tarif royalti dari 10% menjadi 14-19%. Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, Indonesia akan memiliki tarif royalti nikel tertinggi di dunia jika kebijakan ini diterapkan.
"Kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel, kita yang tertinggi, bahkan sebelum kenaikan," ujar Meidy dalam konferensi pers mengenai wacana kenaikan tarif royalti pertambangan, Jumat (21/3/2025).
Meidy menyoroti bahwa beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan negara tetangga memiliki tarif royalti yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan menerapkan sistem royalti berbasis keuntungan, bukan tarif tetap.
"Di beberapa negara seperti Amerika, Asia, Eropa, dan negara-negara tetangga, royalti itu lebih rendah. Di Indonesia, kalau royalti tetap 10% saja sudah tinggi. Kalau ditambah lagi jadi 14-19%, waduh! Kita benar-benar negara kaya ya," ucapnya dengan nada sarkastik.
Selain itu, Meidy mengungkapkan bahwa kebijakan kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri tambang yang sudah menghadapi berbagai tekanan lain. Ia menyebut beberapa faktor seperti naiknya harga bahan bakar B40, regulasi Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sebagai hambatan tambahan yang memperburuk situasi industri pertambangan di Indonesia.
"Kenaikan royalti ini hanya akan menambah beban industri yang sudah berat. Kita sudah harus menyesuaikan diri dengan naiknya harga B40, aturan DHE ekspor, dan kenaikan PPN menjadi 12%. Sekarang ditambah lagi royalti nikel yang naik. Ini benar-benar menekan industri," jelasnya.
Pelaku industri tambang meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini agar tidak menghambat daya saing Indonesia di pasar global. Dengan royalti yang semakin tinggi, investor bisa saja beralih ke negara lain yang menawarkan kebijakan fiskal lebih kompetitif.
"Kita khawatir kebijakan ini justru akan membuat investor berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka bisa saja pindah ke negara lain yang lebih kompetitif dalam hal regulasi," tambah Meidy.
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan pernyataan lebih lanjut apakah akan meninjau ulang kebijakan kenaikan royalti ini. Namun, tekanan dari pelaku industri semakin kuat, mengingat sektor tambang merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional.
Di tengah pro dan kontra ini, pemerintah dihadapkan pada dilema antara meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan royalti atau menjaga daya saing industri tambang agar tetap menarik bagi investor. Keputusan akhir mengenai tarif royalti ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan industri tambang di Indonesia serta pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.